GUEST

Isnin, 13 September 2010

Syariat Membimbing dalam Persoalan Ziarah Kubur

Sudah menjadi suatu adat dari kalangan umat Islam di Malaysia, tatkala tibanya Syawal, maka ramailah yang akan berpusu-pusu untuk menziarahi kubur. Islam sebagai sebuah agama yang bersifat wasath, membimbing manusia menuju ke arah kehidupan beragama dalam semua aspek kehidupan, termasuklah dalam persoalan ziarah kubur. Maka, dalam persoalan ziarah kubur, Islam telah menggariskan panduannya sesuai dengan Sunnah Rasulullah Sollallahu 'Alaihi Wa Salam, kerana Islam itu Sunnah dan Sunnah itu Islam.

Hikmah Dilarangnya Ziarah Kubur Sebelum Diizinkannya
Dahulu Rasulullah melarang para sahabatnya untuk berziarah kubur sebelum disyari’atkannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:
إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِياَرَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهاَ فَإِنَّهاَ تُذَكِّرُكُمُ اْلآخِرَةَ وَلْتَزِدْكُمْ زِياَرَتُهاَ خَيْرًا فَمَنْ أَراَدَ أَنْ يَزُوْرَ فَلْيَزُرْ وَلاَ تَقُوْلُوا هُجْرًا ( وِفِي رِوَايَةِ أحْمَدَ: وَلاَتَقُولُوا مَا يُسْخِطُ الرَّبُّ )
“Sesungguhnya aku dahulu telah melarang kalian untuk berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah! Karena dengannya, akan bisa mengingatkan kepada hari akhirat dan akan menambah kebaikan bagi kalian. Maka barangsiapa yang ingin berziarah maka lakukanlah, dan jangan kalian mengatakan ‘hujr’ (ucapan-ucapan batil).” (H.R. Muslim), dalam riwayat (HR. Ahmad): “dan janganlah kalian mengucapkan sesuatu yang menyebabkan kemurkaan Allah.”

Al Imam An Nawawi berkata: “Hikmah dilarangnya ziarah kubur sebelum disyari’atkannya, adalah karena para sahabat di masa itu masih dekat dengan masa jahiliyah, yakni mereka ketika berziarah masih diiringi dengan ucapan-ucapan batil. Setelah kukuh asas-asas Islam dan hukum-hukumnya serta telah tegak simbol-simbol Islam pada diri-diri mereka, barulah disyari’atkan ziarah kubur. (Al Majmu’: 5/310)

Tujuan Disyari’atkannya Ziarah Kubur

Berikut merupakan hadith-hadith yang menjelaskan tujuan disyariatkan ziarah kubur

1. Hadits Buraidah bin Hushaib , Rasulullah bersabda:
إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِياَرَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهاَ فَإِنَّهاَ تُذَكِّرُكُمُ اْلآخِرَةَ وَلْتَزِدْكُمْ زِياَرَتُهاَ خَيْرًا
“Sesungguhnya aku dahulu telah melarang kalian untuk berziarah kubur, maka (sekarang) berziarahlah karena akan bisa mengingatkan kalian kepada akhirat dan akan menambah kebaikan bagi kalian.” (HR. Muslim)
dari sahabat Buraidah juga, beliau berkata: “Rasulullah telah mengajarkan kepada para sahabatnya, bilamana berziarah kubur agar mengatakan:
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ أَنْتُمْ لَنَا فرَطٌ وَنَحْنُ لَكُمْ تَبَعٌ وَأَسْأَلُ اللهَ لَنَا لَكُمُ الْعَافِيَةِ
“Assalamu’alaikum wahai penduduk kubur dari kalangan kaum mukminin dan muslimin. Kami Insya Allah akan menyusul kalian. Kalian telah mendahului kami, dan kami akan mengikuti kalian. Semoga Allah memberikan ampunan untuk kami dan kalian.”(HR. Muslim 3/65)
2. Hadits Abu Sa’id Al Khudri dan Anas bin Malik :
فَزُوْرُوْهاَ فَإِنّ فِيهَا عِبْرَةً (وِفِي رِوَايَةِ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ: تُرِقُّ الْقَلْبَ وَتُدْمِعُ الْعَيْنَ وَتُذَكِّرُ الْآخِرَةَ)
“sekarang berziarahlah ke kuburan karena sesungguhnya di dalam ziarah itu terdapat pelajaran yang besar… . Dalam riwayat sahabat Anas bin Malik : … karena dapat melembutkan hati, melinangkan air mata dan dapat mengingatkan kepada hari akhir.” (H.R Ahmad 3/37-38, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal: 228).
3. Hadits ‘Aisyah :
“Dahulu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam pernah keluar menuju kuburan Baqi’ lalu beliau mendo’akan kebaikan untuk mereka. Kemudian ‘Aisyah bertanya kepada Rasulullah tentang perkara itu. Beliau berkata: “Sesungguhnya aku (diperintahkan oleh Allah) untuk mendo’akan mereka. (HR. Ahmad 6/252 dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani , lihat Ahkamul Janaiz hal. 239)
Dalam riwayat lain, ‘Aisyah bertanya: “Apa yang aku ucapkan untuk penduduk kubur? Rasulullah berkata: “Ucapkanlah:
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَيَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنَ مِنَّا وَالمُسَتَأْخِرِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ
“Assalamu’alaikum wahai penduduk kubur dari kalangan kaum mukminin dan muslimin. Semoga Allah memberikan rahmat kepada orang-orang yang mendahului kami ataupun yang akan datang kemudian. Dan kami Insya Allah akan menyusul kalian.” (HR. Muslim hadits no. 974)
Dari hadits-hadits di atas, kita dapat mengetahui kesimpulan-kesimpulan penting tentang tujuan sebenarnya ziarah kubur:
a. Memberikan manfaat bagi penziarah kubur iaitu untuk mengambil ibrah (pelajaran), melembutkan hati, mengingatkan kematian dan mengingatkan tentang akan adanya hari akhirat.
b. Memberikan manfaat bagi penghuni kubur, yaitu ucapan salam (do’a) dari penziarah kubur dengan lafadz-lafadz yang terdapat pada hadits-hadits di atas, karena inilah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Sollallahu 'Alaihi Wa Salam, seperti hadits Aisyah dan yang lainnya.
Bilamana ziarah kubur kosong dari maksud dan tujuan tersebut, maka itu bukanlah ziarah kubur yang diridhoi oleh Allah . Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullah mengatakan: “Semuanya menunjukkan tentang disyariatkannya ziarah kubur dan penjelasan tentang hikmah yang terkandung padanya yaitu agar dapat mengambil ibrah (pelajaran). Apabila kosong dari ini (maksud dan tujuannya) maka bukan ziarah yang disyariatkan.” (Lihat Subulus Salam, 2/162)

Adab-adab yang perlu diambil perhatian sewaktu menziarahi kubur

Pertama: Menjauhi ucapan-ucapan batil.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:
إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِياَرَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهاَ فَإِنَّهاَ تُذَكِّرُكُمُ اْلآخِرَةَ وَلْتَزِدْكُمْ زِياَرَتُهاَ خَيْرًا فَمَنْ أَراَدَ أَنْ يَزُوْرَ فَلْيَزُرْ وَلاَ تَقُوْلُوا هُجْرًا ( وِفِي رِوَايَةِ أحْمَدَ: وَلاَتَقُولُوا مَا يُسْخِطُ الرَّبُّ )
“Sesungguhnya aku dahulu telah melarang kalian untuk berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah! Karena dengannya, akan bisa mengingatkan kepada hari akhirat dan akan menambah kebaikan bagi kalian. Maka barangsiapa yang ingin berziarah maka lakukanlah, dan jangan kalian mengatakan ‘hujr’ (ucapan-ucapan batil).” (H.R. Muslim), dalam riwayat (HR. Ahmad): “dan janganlah kalian mengucapkan sesuatu yang menyebabkan kemurkaan Allah.”

Kedua: Tidak menjadikan kuburan sebagai masjid.
Rasulullah bersabda:
اللهمَّ لاَتَجْعَل قَبْرِيْ وَثَنًا يُعْبَدُ اشْتَدَّ غَضَبُ اللهِ عَلى قَوْمٍ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Ya Allah, janganlah Engkau jadikan kuburanku sebagai watsan (sesembahan selain Allah), sungguh amat besar sekali kemurkaan Allah terhadap suatu kaum yang menjadikan kuburan-kuburan para nabi sebagai masjid-masjid.” (HR. Ahmad)

Makna menjadikan kuburan sebagai masjid mencakupi persoalan mendirikan bangunan masjid di atasnya ataupun beribadah kepada Allah di sisi kuburan. Maka dari itu, tidak pernah dijumpai para sahabat Nabi meRAMAIkan kuburan dengan berbagai jenis ibadah seperti shalat, membaca Al Qur’an, atau jenis ibadah yang lainnya. Karena pada dasarnya perbuatan itu adalah terlarang, lebih tegas lagi larangan tersebut ketika Rasulullah bersabda:
لاَتَجْعَلُوا بُيُوْتَكُمْ قُبُوْرًا وَلاَ تَجْعَلُوا قَبْرِيْ عِيْدًا وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ تَبْلُغُنِيْ حَيْثُ كُنْتُمْ
“Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan dan jangan pula kalian menjadikan kuburanku sebagai tempat yang selalu dikunjungi. Karena di manapun kalian bershalawat untukku, niscaya akan sampai kepadaku.” (HR. Abu Dawud)

Ketiga: Tidak melakukan safar (perjalanan jauh) dalam rangka ziarah kubur.
Rasulullah bersabda:
لاَ تَشُدُّوا الرِّحاَلَ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَساَجِدَ. مَسْجِدِي هَذاَ وَالْمَسْجِدِ الْحَراَمِ وَالْمَسْجِدِ اْلأَقْصَى
“Jangan kalian bepergian mengadakan safar (dengan tujuan ibadah) kecuali kepada tiga masjid: masjidku ini, Masjid Al-Haram, dan Masjid Al-Aqsha.” (HR. Al-Bukhari no. 1139 dan Muslim no. 415)

Ziarah ke kubur Nabi dan dua sahabatnya Abu Bakar dan Umar sememangnya merupakan amalan mustahabbah (dicintai) dalam agama ini, namun dengan syarat tidak melakukan safar semata-mata dengan niat ziarah kubur.

Mungkin ramai yang terkeliru dengan beberapa hadis yang ada menyebut (fadhilat) keutamaan merangka sebuah safar untuk menziarahi kubur Nabi. Namun, sebilangan hadis-hadis tersebut berstatus dhoif, contohnya seperti hadis-hadis di bawah ini:

مَنْ زَارَ قَبْرِي فَقَدْ وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِي
“Barang siapa yang berziarah ke kuburanku, niscaya baginya akan mendapatkan syafaatku.”
مَنْ زَرَانِي وَ زَارَ أَبِي فِي عَامٍ وَاحِدٍ ضَمِنْتُ لَهُ عَلَى اللهِ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa berziarah ke kuburanku dan kuburan bapakku pada satu tahun (yang sama), aku menjamin baginya Al Jannah.”
مَنْ حَجَّ وَلَمْ يَزُرْنِي فَقَدْ جَفَانِي
“Barangsiapa berhaji dalam keadaan tidak berziarah ke kuburanku, berarti ia meremehkanku”
Semua hadits-hadits di atas ini dho’if (lemah) bahkan maudhlu’ (palsu), sehingga tidak diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhari, Muslim, tidak pula Ashabus-Sunan; Abu Daud, An-Nasai’ dan selain keduanya, tidak pula Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ats-Tsauri, Al-Auzai’, Al-Laitsi dan lainnya dari para imam-imam ahlu hadits. (lihat Majmu’ Fatawa 27/29-30).

Keempat: Tanah kubur Nabi tidaklah lebih utama dibanding Masjid Nabawi
Tidak ada satu dalil pun dari Al Qur’an, As Sunnah ataupun perkataan dari salah satu ulama salaf yang menerangkan bahwa tanah kubur Nabi lebih utama dibanding Masjidil Haram, Masjid Nabawi atau Masjidil Aqsha. Pernyataan ini hanya berasal daripada Al Qadhi Iyadh. Segala pernyataan yang tidak dilandasi dengan Al Qur’an ataupun As Sunnah sangat perlu dipertanyakan, apalagi tidak ada seorang pun dari ulama yang menyatakan demikian. (Lihat Majmu’ Fatawa 27/37)

Kelima: Tidak mengkhususkan waktu tertentu baik hari ataupun bulan. Karena tidak ada satu nash pun dari Al-Qur’an, As-Sunnah ataupun amalan para sahabat nabi yang menjelaskan keutamaan waktu tertentu untuk ziarah.

Keenam: Tidak diperbolehkan jalan ataupun duduk diatas kubur. Sebagaimana Rasulullah bersabda:
لأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ ِثيَابَهُ فَتُخْلِصَ إِلَى جِلْدِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَجِلِسَ عَلَى قَبْرٍ
“Sungguh jika salah seorang diantara kalian duduk di atas bara api, sehingga membakar bajunya dan menembus kulitnya, lebih baik baginya daripada duduk di atas kubur”. (HR. Muslim 3/62)
لأَنْ أَمْشِي عَلَى جَمْرَةٍ أَوْ سَيْفٍ أو أَخْصِفَ نَعْلِي بِرِجْلِي أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ أَن أَمْشِيَ عَلَى قَبْرِ مُسْلِمٍ
“Sungguh aku berjalan di atas bara api, atau (tajamnya) sebilah pedang, ataupun aku menambal sandalku dengan kakiku, lebih aku sukai daripada aku berjalan di atas kubur seorang muslim.” (HR. Ibnu Majah dan selainnya)

sumber:
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1646

Isnin, 6 September 2010

apabila 'Eid jatuh Hari Jumaat

Ramadhan semakin tiba ke penghujungnya. Berkemungkinan besar, tarikh 'Eid akan jatuh pada hari Jumaat..Jadi, adakah kewajiban melaksanakan solat Jumaat masih wajib dilakukan?

Berikut merupakan jawapan terhadap permasalahan berikut melalui fatwa para Ulama Sunnah..

Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah

Pertanyaan : Jika datang ‘Idul Fithri pada hari Jum’at apakah boleh bagiku untuk shalat ‘Id namun aku tidak shalat Jum’at, atau sebaliknya?

Jawab : Apabila Hari Raya bertepatan dengan hari Jum’at maka barangsiapa yang telah menunaikan shalat ‘id berjama’ah bersama imam gugur darinya kewajiban menghadiri shalat Jum’at, dan hukumnya bagi dia menjadi sunnah saja. Apabila dia tidak menghadiri shalat Jum’at maka tetap wajib atasnya shalat zhuhur. Ini berlaku bagi selain imam.

Adapun imam, tetap wajib atasnya untuk menghadiri Jum’at dan melaksanakannya bersama kaum muslimin yang hadir. Shalat Jum’at pada hari tersebut tidak ditinggalkan sama sekali.

(Al-Muntaqa min Fatawa Al-Fauzan VIII/44)

* * *

Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta`

Fatwa no. 2358

Pertanyaan : Pada tahun ini bertemu dalam sehari dua hari raya, yaitu : Hari Jum’at dan ‘Idul Adh-ha. Manakah yang benar : Kita tetap melaksanakan shalat zhuhur jika kita tidak shalat Jum’at, ataukah kewajiban shalat zhuhur gugur apabila kita tidak shalat Jum’at?

Jawab : Barangsiapa yang melaksanakan shalat ‘Id bertepatan dengan hari Jum’at, maka dia diberi rukhshah (keringanan) untuk meninggalkan shalat Jum’at pada hari tersebut, kecuali imam. Adapun imam, tetap wajib atasnya menegakkan shalat Jum’at bersama kaum muslimin yang hadir shalat Jum’at, baik yang sudah shalat ‘Id maupun tidak shalat ‘Id. Apabila tidak ada seorang pun yang hadir, maka gugurlah kewajiban Jum’at darinya, dan dia melaksanakan shalat Zhuhur.

(Para ‘ulama yang berpendapat demikian) berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab Sunan-nya dari Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syami berkata :

« شهدت معاوية بن أبي سفيان وهو يسأل زيد بن أرقم قال: أشهدت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم عيدين اجتمعا في يوم؟ قال: نعم، قال: فكيف صنع؟ قال: صلى العيد ثم رخص في الجمعة، فقال: من شاء أن يصلي فليصل، »

Aku menyaksikan Mu’awiyah bin Abi Sufyan sedang bertanya kepada Zaid bin Arqam, “Apakah engkau menyaksikan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dua ‘Id bertepatan pada satu hari?” Zaid menjawab, “Ya.” Mu’awiyah bertanya lagi, “Bagaimana yang beliau lakukan?” Zaid menjawab, “Beliau mengerjakan shalat ‘Id kemudian memberikan rukhshah (keringanan) untuk shalat Jum’at. Beliau mengatakan, Barangsiapa yang hendak mengerjakan shalat (Jum’at), maka silakan mengerjakan shalat (Jum’at).” [1]

Juga berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya juga dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda :

« قد اجتمع في يومكم هذا عيدان، فمن شاء أجزأه من الجمعة، وإنا مجمعون »

Telah terkumpul pada hari kalian ini dua ‘Id. Barangsiapa yang mau maka itu sudah mencukupinya dari shalat Jum’at. Sesungguhnya kita memadukan (dua ‘id). [2]

Dalil-dalil tersebut menunjukkan bahwa rukhshah (keringanan) tersebut untuk shalat Jum’at bagi barangsiapa yang telah menunaikan shalat ‘Id pada hari tersebut.

Sekaligus diketahui bahwa tidak berlaku rukhshah bagi imam, karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits tersebut, “Sesungguhnya kita memadukan (dua ‘id).” Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari shahabat An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma :

« أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقرأ في صلاة الجمعة والعيد بسبح والغاشية، وربما اجتمعا في يوم فقرأ بهما فيهما »

“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu membaca dalam shalat Jum’at dan shalat ‘Id surat Sabbihis dan surat Al-Ghasyiyah. Terkadang dua ‘Id tersebut bertemu/bertepatan dalam satu hari, maka beliau membaca dua surat tersebut dalam dua shalat (”Id dan Jum’at).”

Barangsiapa yang tidak menghadiri shalat Jum’at bagi yang telah menunaikan shalat ‘Id, maka tetap wajib atasnya untuk shalat Zhuhur, berdasarkan keumuman dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban shalat Zhuhur bagi yang tidak shalat Jum’at.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.

Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta`

Ketua : ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz

Wakil Ketua : ‘Abdurrazzaq ‘Afifi

Anggota : ‘Abdullah bin Ghudayyan

Anggota : ‘Abdullah bin Qu’ud.

* * *

Adapun dalam fatwo 2140, Al-Lajnah menyatakan sebagai berikut :

Apabila ‘Id bertepatan dengan hari Jum’at, maka gugur kewajiban menghadiri shalat Jum’at bagi orang yang telah menunaikan shalat ‘Id. Kecuali bagi imam, kewajiban shalat Jum’at tidak gugur darinya. Terkecuali apabila memang tidak ada orang yang berkumpul/hadir (ke masjid) untuk shalat Jum’at.

Di antara yang berpendapat demikian adalah adalah : Al-Imam Asy-Sya’bi, Al-Imam An-Nakha’i, Al-Imam Al-Auza’i. Ini adalah madzhab shahabat ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Sa’id, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Ibnu Az-Zubair radhiyallahu ‘anhum dan para ‘ulama yang sependapat dengan mereka. … .

* * *

Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah

Pertanyaan : Apa hukum shalat Jum’at jika bertepatan dengan hari ‘Id, apakah wajib menegakkannya atas seluruh kaum muslimin, ataukah hanya wajib atas sekelompok tertentu saja? Karena sebagian orang berkeyakinan bahwa apabila hari ‘Id bertepatan dengan hari Jum’at berarti tidak ada shalat shalat Jum’at.

Jawab : Tetap wajib atas imam dan khathib shalat Jum’at untuk menegakkan shalat Jum’at, hadir ke masjid, dan shalat berjama’ah mengimami orang-orang yang hadir di masjid. Karena dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegakkan shalat Jum’at pada hari ‘Id, beliau ‘alahish shalatu was salam melaksanakan shalat ‘Id dan shalat Jum’at. Terkadang beliau dalam shalat ‘Id dan shalat Jum’at sama-sama membaca surat Sabbihisma dan surat Al-Ghasyiyah, sebagaimana dikatakan oleh shahabat An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma dalam riwayat yang shahih dari beliau dalam kitab Shahih (Muslim).

Namun bagi orang yang yang telah melaksanakan shalat ‘Id, boleh baginya untuk meninggalkan shalat Jum’at dan hanya melaksanakan shalat Zhuhur di rumahnya atau berjama’ah dengan beberapa orang saudaranya, apabila mereka semua telah melaksanakan shalat ‘Id.

Apabila dia melaksanakan shalat Jum’at berjama’ah maka itu afdhal (lebih utama) dan akmal (lebih sempurna). Namun apabila ia meninggalkan shalat Jum’at, karena ia telah melaksanakan shalat ‘Id, maka tidak mengapa, namun tetap wajib atasnya melaksanakan shalat Zhuhur, baik sendirian ataupun berjama’ah.

Wallahu Waliyyut Taufiq

(Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah XII/341-342)

* * *

Dalam fatwanya yang lain, ketika beliau mengingkari pendapat yang menyatakan bahwa jika ‘Id bertepatan dengan hari Jum’at, maka bagi orang yang telah melaksanakan shalat ‘Id gugur kewajiban shalat Jum’at dan shalat Zhuhur sekaligus, Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan :

“Ini juga merupakan kesalahan yang sangat jelas. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan atas hamba-hamba-Nya shalat 5 waktu dalam sehari semalam, dan kaum muslimin telah berijma’ atas kewajiban tersebut. Yang kelima pada hari Jum’at adalah kewajiban shalat Jum’at. Hari ‘Id apabila bertepatan dengan hari Jum’at termasuk dalam kewajiban tersebut. Kalau seandainya kewajiban shalat Zhuhur gugur dari orang yang telah melaksanakan shalat ‘Id niscaya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mengingatkan hal tersebut. Karena ini merupakan permasalahan yang tidak diketahui oleh umat. Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan rukhshah (keringanan) untuk meninggalkan shalat Jum’at bagi orang yang sudah melaksanakan shalat ‘Id dan tidak menyebutkan gugurnya kewajiban shalat Zhuhur, maka diketahui bahwa kewajiban (shalat Zhuhur) tersebut masih tetap berlaku. Berdasarkan hukum asal dan dalil-dalil syar’i, serta ijma’ (kaum muslimin) atas kewajiban shalat 5 waktu dalam sehari semalam.

Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap melaksanakan shalat Jum’at pada (hari yang bertepatan dengan) hari ‘Id, sebagaimana terdapat dalam hadits-hadits, di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahih-nya dari shahabat An-Nu’man bin Basyir :

« أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقرأ في صلاة الجمعة والعيد بسبح والغاشية، وربما اجتمعا في يوم فقرأ بهما فيهما »

“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu membaca dalam shalat Jum’at dan shalat ‘Id surat Sabbihis dan surat Al-Ghasyiyah. Terkadang dua ‘Id tersebut bertemu/bertepatan dalam satu hari, maka beliau membaca dua surat tersebut dalam dua shalat (”Id dan Jum’at).”

Adapun apa yang diriwayatkan dari shahabat ‘Abdullah bin Az-Zubair bahwa beliau melaksanakan shalat ‘Id kemudian tidak keluar lagi baik untuk shalat Jum’at maupun shalat Zhuhur, maka itu dibawa pada kemungkinan bahwa beliau memajukan shalat Jum’at, dan mencukupkan dengan itu dari mengerjakan shalat ‘Id dan shalat Zhuhur. Atau pada kemungkinan bahwa beliau berkeyakinan bahwa imam pada hari tersebut memiliki hukum yang sama dengan yang lainnya, yaitu tidak wajib keluar untuk melaksanakan shalat Jum’at, namun beliau tetap shalat Zhuhur di rumahnya. Kemungkinan mana pun yang benar, kalau pun taruhlah yang benar dari perbuatan beliau bahwa beliau berpendapat gugurnya kewajiban shalat Jum’at dan Zhuhur yang sudah shalat ‘Id maka keumuman dalil-dalil syar’i, prinsip-prinsip yang diikuti, dan ijma’ yang ada bahwa wajib shalat Zhuhur atas siapayang tidak shalat Jum’at dari kalangan para mukallaf, itu semua lebih dikedepankan daripada apa yang diamalkan oleh Ibnu Az-Zubair radhiyallahu ‘anhu. … .

(Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah XXX/261-262)

* * *

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah :

Kenyataannya masalah ini terdapat perbedaan di kalangan ‘ulama rahimahumullah. Pendapat yang kuat, yang ditunjukkan oleh As-Sunnah, bahwa ….

Kita katakan, Apabila hari Jum’at bertepatan dengan ‘Id maka engkau wajib shalat ‘Id. Barangsiapa yang telah melaksanakan shalat ‘Id, maka bagi dia bebas memilih apakah dia mau hadir shalat Jum’at bersama imam, ataukah ia shalat Zhuhur di rumahnya.

Kedua, tetap wajib mengadakan shalat Jum’at di suatu negeri/daerah. Barangsiapa yang hadir maka dia shalat Jum’at, barangsiapa yang tidak hadir maka dia shalat Zhuhur di rumahnya.

Ketiga, pada hari itu shalat Zhuhur tidak dilaksanakan di masjid, karena yang wajib dilaksanakan adalah shalat Jum’at, sehingga tidak dilakukan shalat Zhuhur (di masjid).

Inilah pendapat yang kuat, yang ditunjukkan oleh dalil-dalil As-Sunnah.

(Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb - Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin)

* * *

[1] HR. Ahmad (IV/372), Abu Dawud 1070, An-Nasa`i 1591, Ibnu Majah 1310. Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Madini, Al-Hakim, dan Adz-Dzahabi. Dishahihkan pula oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud - Al-Umm no. 981. (pent)

[2] HR. Abu Dawud 1073, Ibnu Majah 1311. dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud - Al-Umm no. 983.

sumber :
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1565