GUEST

Isnin, 15 Julai 2013

Fiqh Puasa(2)

Soalan : Adakah wajib niat setiap hari untuk puasa Bulan Ramadhan atau cukup niat sekali pada hari pertama untuk satu bulan Ramadhan?

 Jawapan : Jumhur berpendapat wajibnya niat setiap hari, setiap kali puasa, karena masing-masing hari merupakan ibadah yang terpisah yang tersendiri (sehingga kalau puasa hari khamis batal, maka yang hari jum’at dan yang lain tidak batal), diantara yang berpendapat demikian Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad (yang masyhur dari beliau), Abu Hanifah. Sementara itu, Imam Malik, mendapatkan satu riwayat dari pendapat Imam Ahmad yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, berpendapat bahwa Ramadhan dan rentetan amalan puasanya yang terus bersambung maka cukup niat diawalnya selama tidak terputus oleh suatu udzur sehingga ia perlu memulai niat lagi. Pendapat ini juga dikuatkan oleh Asy Syaikh Utsaimin rahimahullah dan pendapat inilah yang rajih (yang kuat), termasuk keumuman sabda Nabi -shalallahu ‘alaihi wa sallam-:

 إنما الأعمال بالنيات
“Amalan itu tergantung pada niat.” 

Dan juga merupakan satu bentuk ibadah yang cukup padanya satu niat. Berkata Syaikhul Islam: “Keadaan satu amalan itu yang rosak tidak merosakkan sebahagiannya yang lain, kalau ibadah itu adalah satu, seperti haji yang meliputi ihram, wuquf, thowaf, sa’i. Kalau kemudian rosak thowafnya karena tidak dalam keadaan suci misalnya, maka semisal ini tidaklah kerosakannya mengenai yang lain, walaupun ia satu rangkaian ibadah.” (majmu’ fatawa 6/302)

 Untuk lebih jelas, berikut adalah contoh situasi:

Misalnya: seseorang tidur sebelum terbenam matahari (hari rabu) dan tidak terbangun sampai terbit fajar kedua (subuh hari kamis), maka untuk hari khamis tersebut:

- Menurut pendapat pertama (jumhur), tidak sah puasa orang tersebut untuk hari khamis, karena belum niat. - Menurut pendapat kedua (ini yang rajih), puasanya sah karena dia niat sejak awal ramadhan, niat mau puasa sebulan penuh.

 Perlu diketahui, bahawa untuk niat puasa bukan bererti harus mengucapkan: Nawaitu shouma ghodin (saya niat puasa besok) / nawaitu shouma syahri romadhon (saya niat puasa Bulan Ramadhan). Akan tetapi niat adalah adanya keinginan dan maksud dalam hati, seperti berkehendak untuk bangun untuk melaksanakan sahur guna puasa sudah bermakna adanya niat puasa. Wallahu a’lam bishowab.

 Lihat: Syahrul Mumti’ (6/369), Al Mughni (9/3), Majmu’ Fatawa (6/302), Taudhihul Ahkam (3/151) Al

Ustadz Abu Abdillah Muhammad Rifa’i 2 Ramadhan 1434 H,
Ma’had Daarus Salaf Al Islamiy Bontang 

Sumber : http://www.darussalaf.or.id/fiqih/soal-jawab-seputar-niat-puasa-pertanyaan-2/ (dengan sedikit suntingan)

Fiqh Puasa (1)

Pertanyaan 1: Adakah harus berniat puasa di waktu malam?

 Jawapan: Untuk puasa wajib maka wajib berniat pada malam harinya, menurut pendapat jumhur para ulama’ antara lain Imam Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Syaikhul Islam, Ibnu Qudamah, Ashon’ani, Asy Syaukani, dll. Dalilnya antara lain adalah hadits Hafshoh, dikeluarkan oleh Abu Dawud (2454), At Tirmidzi (370), An Nasa’i (2331), Ibnu Majah (1700), bahwa Nabi -shalallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: وَعَنْ حَفْصَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ :مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ “Barangsiapa yang tidak berniat puasa pada waktu malam (sebelum terbit fajar) maka tidak ada puasa baginya.” Hadits ini yang rajih adalah mauquf sampai hafshoh, dan datang juga mauquf sampai Ibnu ‘Umar -radhiyallahu‘anhuma-.

 Manakala, untuk puasa sunnah maka tidak wajib berniat sejak malamnya, ertinya puasanya sah kalau puasa sunnah tersebut niatnya pada siang, selama ia belum makan, minum dan melakukan perkara lain yang membatalkan puasanyanya, dengan dalil hadits ‘Aisyah -radhiyallahu‘anha-, beliau berkata: “Nabi -shalallahu ‘alaihi wa sallam- pernah menemuiku pada suatu hari, beliau bertanya, “Apakah ada suatu makanan pada kalian?”, kami menjawab: “Tidak ada”, beliau berkata: “Kalau demikian maka aku puasa.” (HR. Muslim), dalam shohih Abi ‘Awanah dengan lafadz: “Maka aku akan puasa”.

 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam kitab Syahrul Umdah, “Ini menunjukkan bahwa beliau memulai puasa pada waktu siang.” Dalilnya juga adalah perbuatan para shohabat yang mereka mulai puasa sunnah dari siang, diantaranya: Abu Darda, Abu Tholhah, Hudzaifah, Ibnu Mas’ud, Anas, Muadz Ibnu Jabal, sebagaimana disebutkan dalam Mushonnaf Abdurrozaq (4/272-273), Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah (3/28-31), Syahrul Ma’ani karya At Thohawi (2/56). Ini juga menjadi pendapat: Syaikh Al Albani, Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin -rahimahumallah-. Wallahu A’lam Bishowab.

 Al Ustadz Abu Abdillah Muhammad Rifa’i
Akhir Sya’ban 1434 H, Ma’had Daarus Salaf Al Islamiy Bontang

 Sumber : http://www.darussalaf.or.id/fiqih/soal-jawab-seputar-niat-puasa/ (dengan sedikit suntingan)

Khamis, 22 September 2011

Para Pelaku Dosa Besar Tidak dDihukum Kafir

Syarah : Ustaz Abdul Wahab al-Bustami hafizahullah
Kitab : Aqidatus Salaf Wa Ashabul Hadith
Bab : Tidak Dihukum Kafir Seorang Muslim disebabkan dosanya

Khamis, 5 Mei 2011

Tafsir surah al-Ghafir ayat 36-37

ALLAH berfirman dalam al-Quran surah Ghafir ayat 36-37:

وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا هَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَبْلُغُ الْأَسْبَابَ (36) أَسْبَابَ السَّمَاوَاتِ فَأَطَّلِعَ إِلَى إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لَأَظُنُّهُ كَاذِبًا وَكَذَلِكَ زُيِّنَ لِفِرْعَوْنَ سُوءُ عَمَلِهِ وَصُدَّ عَنِ السَّبِيلِ وَمَا كَيْدُ فِرْعَوْنَ إِلَّا فِي تَبَابٍ (37)

Maksudnya: Dan Firaun pula berkata: Hai Haman! Binalah untukku sebuah bangunan yang tinggi, semoga aku sampai ke jalan-jalan (yang aku hendak menujunya) (Iaitu) ke pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku percaya Musa itu seorang pendusta! Demikianlah diperhiaskan (oleh Syaitan) kepada Firaun akan perbuatannya yang buruk itu untuk dipandang baik, serta dia dihalangi dari jalan yang benar dan tipu daya Firaun itu tidak membawanya melainkan ke dalam kerugian dan kebinasaan.

Persoalan:

Kenapakah Fir'aun –Laknat ALLAH atasnya- hendak membina bangunan tinggi supaya dia boleh mencapai pintu-pintu langit sambil mendakwa Musa a.s berdusta? Apakah perkara yang Fir'aun tuduh Musa a.s berdusta akannya sehingga Fir'aun perlu naik ke langit untuk membuktikan kepada kaumnya yang Musa a.s berdusta? Apakah yang Musa a.s beritahu kepada Fir'aun sehingga dia begitu berang dan mendakwa Musa a.s dusta dan dia perlu naik ke langit untuk mempercayai kata-kata Musa a.s itu?

Jawab Imam Ahli Tafsir, Imam Al-Tabari (rh) [w.310 H]:

وقوله: (وَإِنِّي لأظُنُّهُ كَاذِبًا) يقول: وإني لأظنّ موسى كاذبا فيما يقول ويدّعي من أن له في السماء ربا أرسله إلينا.

Maksudnya: "dan firman-Nya (berkenaan kata-kata Fir'aun): " dan sesungguhnya aku percaya Musa itu seorang pendusta!", maksud katanya (Fir'aun) adalah: "dan sesungguhnya aku percaya Musa ini pendusta dalam apa yang dia katakana dan dakwakan BAHAWA DIA MEMPUNYAI TUHAN DI LANGIT YANG MENGUTUSNYA"

[Rujuk: Tafsir al-Tabari, juz 21 m.s 387, Tahqiq: Ahmad Syakir, cet Muassasah al-Risalah, cet Pertama, lihat juga: Tafsir ayat 38 Surah al-Qasas].



Kata Imam Abul Hasan al-Asy'ari (rh) [w.324 H] dalam kitab beliau, al-Ibanah:

كذب موسى عليه السلام في قوله: إن الله سبحانه فوق السماوات

Maksudnya: "Dia (Fir'aun) mendustakan Musa a.s berkenaan perkataan baginda: Bahawa ALLAH s.wt berada di atas langit".

Maka sejarah mencatatkan bahawa, makhluk pertama yang ingkar keberadaan ALLAH di atas Arasy di atas langit ketujuh adalah: Fir'aun –Laknat ALLAH atasnya-



Kata al-Imam Ibn al-Qayyim (rh) dalam Nuniah beliau:

فإمام كل معطل في نفسه ... فرعون مع نمرود مع هامان

Maksudnya: "Maka Imam setiap Mu'attil itu pada dirinya adalah Fir'aun bersama Namrud dan juga Haman"

Oleh itu, ketahuilah wahai setiap muslim dan muslimah, Tuhan kamu; ALLAH itu Maha Tinggi, Tinggi pada Kemuliaan-Nya, Kekuasaan-Nya, dan ZAT-NYA kerana Dia meninggi di atas Arasy di atas langit ketujuh dengan ketinggian yang layak bagi zat-Nya tidak menyamai Makhluk sedikit pun .

sumber :

http://www.facebook.com/home.php?ref=hp#!/notes/muhammad-asrie-sobri/siapakah-yang-pertama-ingkar-allah-di-langit/10150249805281745

Selasa, 19 April 2011

Taghut Yang Berbaju Cantik

Bismillahirrahmanirrahim..



Sungguh di zaman penuh fitnah ini, Taghut itu tampil dalam pelbagai bentuk dan warna. Dengan kepelbagaian ragam, taghut-taghut yang manis mulutnya, busuk hatinya, senantiasa akan berbicara dengan penuh senyuman, kadangkala bersulam makian, ada waktunya ditaburi janji-janji duniawi dan ukhrowi, sehingga manusia yang tamak haloba, akan rela diikat tengkuknya seperti anjing, atau dicucuk hidungnya seperti lembu, dan ia rela mengikut si taghut yang hebat itu ke mana sahaja hatta ke lubang jamban sekalipun.



Seharusnya menjadi perhatian bagi kaum Muslimin, mereka, yakni taghut-taghut itu, tidak senantiasa tampil serba hitam. Kerna, hitam itu telah diketahui adalah simbol KEJAHATAN. Mereka juga tidak sekadar tampil menyesatkan manusia dengan simbol ARAK, JUDI, DISCO, dan FREE SEX, kerana mereka tahu, manusia bisa mengenal itu adalah KEJAHATAN. Lantas, apakah cara yang mereka tempuhi?



Mereka bisa mengubah cara mereka dengan sedikit anjakan paradigma. Orang Islam kagum dengan jubah panjang, maka mereka meleretkannya melebihi buku lali. Para pengikut mereka kagum dengan serban yang BESAR serta EKOR YANG PANJANG, maka mereka tampil dengan imej itu. Anak-anak muda sangat bersemangat dengan kalimah 'Tiada Hukum Selain Hukum Allah', maka general Taghut itu lantas mengapi-apikan lagi jiwa gelora anak-anak muda, walhal mereka terlupa dengan kalimah yang didakwahkan para Rasul yakni 'TIADA ILAH YANG BERHAK DIIBADAHI MELAINKAN ALLAH'.



Dalam pada mereka tampil dengan NYALAKAN yang sangat nyaring itu, mereka hampir terlupa, atau buat-buat BUTA, bahawa perkara pertama yang Rasulullah Sollallahu 'alaihi wa salam lakukan ketika peristiwa Fathu Makkah adalah dengan MENGHANCURKAN BERHALA-BERHALA yang berada di sekitar Ka'bah. Ataupun, mungkin mereka terlupa kenapakah Muhammad bin Abdullah Sollallahu 'alaihi wa salam memerangi manusia? Jawapannya di sini...

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada Dzat yang berhak diibadahi selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mereka menegakkan shalat dan memberikan zakat, jika mereka melakukan hal itu maka darah dan harta mereka terjaga dariku kecuali dengan hak Islam. Dan perhitungan amal mereka terserah Allah.” (Hadits Muttafaqun ‘Alaih dari Ibnu Umar radliyallahu 'anhu)



Taghut-taghut ini akan mempersiapkan diri mereka dengan BEKALAN JIWA sebagai simbol kekuatan mereka, dengan sebanyak mungkin ibadah, namun Rasulullah Sollallahu 'alaihi wa salam terlebih dahulu telah MENCELA mereka.



“Akan muncul segolongan orang ditengah-tengah kalian dimana solat mereka lebih unggul jika dibandingkan dengan solat kalian. Puasa mereka lebih unggul jika dibangdingkan dengan puasa kalian, amal mereka jika dibandingkan dengan amal kalian. Mereka membaca Al Qur’an yang bacaannya tidak melepasi tengkorok. Mereka lepas dari agama sebagaimana anak panah yang lepas dari busurnya” (H. R. Bukhari & Muslim)



Mungkin juga, alasan mereka untuk memerangi manusia adalah kerana telah ramai kaum Muslimin yang telah MURTAD mengikut kefahaman mereka. Berapa ramai umat Islam telah berzina, maka mereka murtad! Sesiapa yang telah meneguk arak, maka mereka murtad! Dan, sesiapa yang tidak melaksanakan HUKUM Allah, maka telah murtad dan kafirlah seisi jiwa raganya.



Maka, dengan kesolehan mereka, merekalah yang layak dianggap sebagai Penghuni Alam Syurga, walaupun rupa mereka hanyalah seperti ANJING YANG TERJELIR LIDAHNYA..Tidak ada gunting yang bisa MENGERAT LIDAH ANJING-ANJING KEHAUSAN ini melainkan kebenaran yang turun bersama Isa 'alaihissalam di akhir zaman yang mana akan menghalau semua ANJING-ANJING ini bersama dengan rakan-rakan mereka...Wallahu a'lam

Sabtu, 8 Januari 2011

Barisan Yang Rapat Memperkuat Perpaduan Ummah

Islam adalah agama perpaduan. Slogan ini kerap kita dengar melalui forum-forum keagamaan yang menyentuh soal perpaduan dalam kalangan umat Islam. Hakikatnya, Islam sebenarnya telah mentarbiyah umatnya dalam soal perpaduan yang kadang kala, mungkin kita sendiri terlepas pandang. Antara bentuk tarbiyah itu adalah dalam soal meluruskan saf antara makmum ketika solat di belakang imam.

Sunnah yang kini diabaikan oleh para makmum apabila solat di belakang imam adalah dalam memastikan kaki dan bahu mereka bersentuhan dengan makmum di sebelahnya. Hal ini mungkin nampak kecil, namun ia telah dicontohkan oleh para sahabat ketika mereka bersolat di belakang Rasulullah SAW. Antaranya adalah hadith yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari (2/176 dengan syarah fathul Bari), Imam Ahmad (3/182), Imam Mukhlis (al-Fawaid juz 1/10/2), dari beberapa jalur yang berasal dari Humaid ath-Thawil, dari Anas bin Malik r.a. yang menuturkan :

Solat telah diiqamati, lalu Rasulullah SAW menghadap kepada kami lalu bersabda :

"Tegakkanlah barisan, dan tetaplah, sesungguhnya aku dapat melihat kalian daripada balik punggungku"

Sementara itu, Imam Bukhari dalam riwayat lain menyatakan ucapan dengan tambahan redaksi berikut :

"Seseorang di antara kami menempelkan bahunya dengan bahu kawannya(makmum di sebelah) dan menempelkan kakinya dengan kaki kawannya(makmum di sebelah)"

Sementara itu, dalam sebuah hadis yang lain, iaitu hadith yang ditakhrij oleh Abu dawud (hadith no 662) , imam Ahmad (396), Imam Ahmad (4/276) dan Ad-Daulabi dalam al-Jadali, Husain bin Harith menceritakan :

"saya mendengar Nu'man bin Thabit berkata :

Rasulullah SAW menghadap ke arah jemaah dan bersabda :

"Rapatkanlah barisanmu (tiga kali), Demi Allah, kalian akan menegakkan barisan, atau Allah akan membuat hati kalian saling berselisisih" Lalu Nu'man berkata :

"Lalu saya melihat masing-masing jemaah menempelkan bahunya ke bahu kawannya, dan kakinya ke kaki kawannya" (hadith di atas disohihkan olehal-Albani dalam Silsilah hadith Sohihah (1/69), hadith ke-32)

Dalam hadis kedua yang diriwayatkan Nu'man bin Thabit, Rasulullah SAW bersumpah dengan nama Allah, bahawa sekiranya para sahabat tidak merapatkan saf mereka, maka Allah SWT akan membuat hati mereka saling berselisih. Maka, para sahabat merapatkan saf mereka dengan merapatkan bahu mereka ke bahu makmum bersebelahan, dan begitu juga dengan kaki mereka.

Mungkin sahaja, hal ini dipandang remeh dan menganggap ia sekadar persoalan furu' yang tidak ada kena-mengena dengan soal perpaduan umat Islam, namun adakah kita akan mengambil ringan akan persaksian Rasulullah SAW sendiri yang telah menyaksikan "....atau Allah akan membuat hati kalian saling berselisisih"

Hakikatnya, masih banyak lagi hal-hal yang menghalangi perpaduan umat Islam, contohnya yang bersangkutan dengan akidah, pecahan firqah-firqah yang wujud dalam masyarakat Islam. Apabila kaum Muslimin meninggalkan sunnah, biarpun dipandang kecil, maka mereka tidak akan beroleh kejayaan, biarpun berbagai usaha dilakukan untuk menyeru ke arah perpaduan umat Islam.

Mungkinkah kegagalan para makmum masjid pada hari ini menjadi punca gagalnya umat Islam pada hari ini bersatu? Hanya Allah Yang Maha Mengetahui

Isnin, 1 November 2010

muzik dan salah faham hadis 'dua anak kecil'

Perbincangan mengenai soal muzik adalah suatu skop perbincangan yang seakan-akan tidak berakhir titik-noktahnya. Apatah lagi, dengan wujudnya fatwa sebahagian 'ustaz' dan 'ulama' yang menghalalkan muzik menjadikan isu ini seakan-akan tiada noktahnya bagi kalangan awam. Untuk memenuhi tuntutan hawa, maka manusia akan menggunakan akalnya sedaya upaya untuk menghalalkan apa sahaja tuntutan jiwanya sehingga menyelisihi hadis sohih, atsar, dan perkataan para Ulama Muktabar. Ada juga yang memberi permit halal terhadap muzik dengan syarat ia dibungkus dengan label islami. Namun, gelagat anak-anak muda terutama muslimat yang bagaikan histeria yang menyaksikan konsert penyanyi nasyid antarabangsa lebih kurang sebulan yang lalu tidak ada ubah seperti gaya peminat yang menyaksikan konsert Adam Lambert, MCR, Guns n Roses, dan sebagainya.

Persoalan muzik ini tidak akan berakhir selagi mana umat Islam terus berpuas hati dengan alasan "alahh, ada ulama yang membenarkannya", "ustaz aku kata boleh, apa nak kecoh?", "ini semua khilaf, pilihlah mana yang dirasakan paling tepat" yang mana hanyalah alasan-alasan stereotaip yang acap kali kedengaran. Hukum muzik itu telah menjadi ijmak dari kalangan Salaf dan golongan yang mengikutinya, hanya sahaja ia dianggap 'khilaf' bila mana semua 'pendapat' digabungkan lantas dirumuskan sekaligus tanpa mengambil kira sejauh mana akuratnya pendapat yang menghalalkannya.

Antara hadis yang seringkali dijadikan alasan untuk menghalalkan muzik adalah berpandukan kepada hadis berikut :

Aisyah radiallahu ‘anha berkata:

دَخَلَ عَلَيَّ رَسُوْلُ اللهِ ، وَعِنْدِيْ جَارِيَتَانِ تُغْنِيَانِ بِغِنَاءٍ بُعَاثٍ فَاضْطَجَعَ عَلَى الْفِرَاشِ وَحَوْلَ وَجْهَهُ ، وَدَخَلَ اَبُوْبَكْر ٍفَانْتَهَرَنِيْ وَقَالَ : مِزْمَارَةُ الشَّيْطَانِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ فَاَقْبَلَ عَلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : دَعْهُمَا . فَلَمَّا غَفَلَ غَمَزْتُهُمَا ، فَخَرَجَتَا

“Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam masuk menemui aku, yang mana di sisiku ada dua orang anak/gadis perempuan kecil yang sedang bernyanyi dengan nyanyian “Bu’ats” (بعاث). Kemudian baginda berbaring di tempat tidur dan memalingkan wajahnya. Masuklah Abu Bakar, lalu dia mengherdikku dan berkata: Seruling syaitan di sisi Nabi sallallahu ‘alaihi wa-sallam? Rasulullah kemudian menghadap ke Abu Bakar lalu bersabda: Biarkan kedua anak perempuan itu. Ketika baginda tidur, aku memberi isyarat dengan mata kepada dua anak itu maka merekapun keluar”. (Hadis Riwayat Muslim. Lihat: Syarh Muslim 6/182, an-Nawawi)

Ramai yang terkeliru dengan 'غِنَاءٍ' dan memahaminya sebagai nyanyian yang menyerupai fenomena yang ada pada masa kini. Sedangkan 'غِنَاءٍ' yang terdapat dalam matan hadis ini merujuk kepada 'بُعَاثٍ' dan "bu'ats" itu tidaklah sama dengan nyanyian yang beriringan dengan muzik.

Apakah makna 'بُعَاثٍ' (bu'ats)? :

“Bu’ats" (بعاث) asalnya ialah nyanyian yang di ambil dari syair mengenai peperangan, keberanian dan motivasi agama. Ia dinyanyikan oleh bangsa Aus ketika memperolehi kemenangan besar dalam peperangan melawan suku Khazraj. Perkara ini (bu’ats) telah dijelaskan oleh Imam al-Bagawi dalam kitab “Syarhus Sunnah” 4/322)

Kelompok yang mencipta permit menghalalkan nyanyian dan muzik yang ada pada masa kini bertaqlidkan salah faham Ibhu Hazm dalam memahami hadis ini. Ibnu Hazm berdalil bahawa harusnya/bolehnya muzik secara mutlak dengan hadis ‘Aisyah tersebut yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, ‘Aisyah berkata: “Rasulullah masuk menemuiku, sementara di sisiku ada dua orang gadis kecil...”

Ahli ilmu telah membantah takwil lbnu Hazm dan orang-orang yang mengikutinya dalam memahami hadis ini sebagai berikut:

Pertama: Rasulullah s.a.w. tidak mengingkari perkataan Abu Bakar yang menyebut muzik sebagai senandung syaitan.” (Risaalah fi Ahkamil Ghina’ tulisan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah halaman 36)

Kedua: Perkataan Rasulullah s.a.w.: “Sesungguhnya bagi tiap-tiap umat ada hari besarnya dan ini adalah hari besar kita” menunjukkan bahawa hukum asalnya adalah dilarang, kalaulah itu terjadi pada selain hari ‘Ied tentu Rasulullah s.a.w. menyetujui larangan Abu Bakar r.a..

Ketiga: Tidaklah mungkin Abu Bakar r.a. berani dan mendahului Rasulullah s.a.w. dan di dalam rumah beliau untuk mengingkari dengan keras seperti itu. Kecuali bila sebelumnya beliau mengetahui bahawa musik hukumnya haram. Akan tetapi pada saat itu Abu Bakar belum tahu bahawa dibolehkan pada hari ‘Ied bernyanyi dan memukul rebana. Dan di antara dalil yang menunjukkan bahawa pengharaman ini bersifat umum, lalu dikecualikan darinya hari ‘Ied menurut batasan-batasan yang akan disebutkan pada tempatnya - insyaAllah.

Keempat: Hadis tersebut menjelaskan bahawa berkumpul mendengar muzik bukan termasuk kebiasaan Nabi s.a.w. dan para sahabat beliau s.a.w.. Oleh kerana itulah Abu Bakar ash-Shiddiq mencelanya dan menyebutnya sebagai senandung/seruling syaitan.

Kelima: Perkataan ‘Aisyah tentang kedua gadis kecil itu bahawa keduanya bukanlah biduanita. Ini menunjukkan bahawa keringanan atau ketentuan tersebut berlaku bagi kedua gadis kecil. Anak kecil diberi kelonggaran yang tidak diberikan kepada orang dewasa dalam bab permainan. (Hukmul Islam fil Musiqi bul Ghinaa’ halaman 54)

Keenam: Adapun Nabi tidak mengingkari kedua gadis kecil itu kerana hari itu adalah hari ‘Ied, bukan pada hari yang lainnya.

Sheikh Soleh al-Fauzan berkata dalam bukunya yang mengkritik Kitab Halal wal Haram yang berjudul al-I'lam bin naqdi al-Halal wal-Haram fil Islam : “Adapun hadis nyanyian dua orang gadis kecil maka tidak terdapat dalil di dalamnya atas bolehnya muzik. Kerana hanya menunjukkan pembacaan nasyid arab yang menceritakan tentang sifat peperangan yang dilantunkan oleh dua orang gadis kecil pada hari ‘Ied. Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata dalam Kitab Madarijus Salikin (Madaarijus Salikin (1/493)): “Yang lebih menghairankan lagi dan hujjah mereka tentang bolehnya muzik yang dilakukan dengan apa yang telah kami sebutkan tadi iaitu berkumpul, beralasan dengan kisah nyanyian dua orang gadis kecil yang belum baligh bersama dengan seorang gadis kecil pada hari ‘Ied lalu ia bergembira dengan syair-syair Arab yang menceritakan tentang keberanian, peperangan, akhlak dan perilaku yang mulia, tentulah amat berbeza antara keduanya. Yang lebih aneh dan pelik lagi sebenarnya hadis ini adalah hujjah yang jelas ke atas mereka. Kerana Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. menyebutnya sebagai senandung/seruling syaitan. Lalu Nabi membenarkan penyebutan tersebut. Beliau s.a.w. memberikan keringanan kepada dua orang gadis kecil yang belum mukallaf (belum baligh) itu kerana tidak ada kerosakan dalam syair yang mereka bawakan dan tidak ada kerosakan mendengarkannya. Maka apakah itu menunjukkan bolehnya apa yang kalian lakukan dan kalian ketahui iaitu mendengar muzik yang bercampur padanya perkara-perkara yang hanya Allah Ta’ala sajalah yang tahu seberapa besar kerosakannya. Maha suci Allah, bagaimana akal dan pemahaman boleh terkeliru.

al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Kitab Fathul Bari, ketika mengulas ucapan Rasulullah s.a.w. “Biarkan mereka berdua hai Abu Bakar!” sebagai berikut:

“Di dalamnya terdapat alasan dan penjelasan tentang sesuatu yang berbeza dengan apa yang dikira oleh Abu Bakar ash-Shiddiq r.a., iaitu keduanya melakukan hal tersebut tanpa sepengetahuan Rasulullah s.a.w., kerana ketika dia masuk lalu mendapati Rasulullah menutup wajahnya dengan kain, Abu Bakar mengira beliau tidur lalu ia mengingkari perbuatan puterinya kerana sangkaan tersebut. Ditambah lagi sejauh pengetahuannya hal itu termasuk dilarang dan perbuatan sia-sia. Maka iapun segera mengingkarinya mewakili Rasulullah berdasarkan apa yang dilihat olehnya. Lalu Rasulullah s.a.w. menjelaskan kepadanya keadaan yang sebenarnya. Lantas beliau menjelaskan hukum disertai penjelasan tentang hikmahnya, iaitu hari tersebut adalah hari ‘Ied. Iaitu kegembiraan yang syar’i, tidaklah diingkari hal seperti itu, sebagaimana juga tidak diingkari pada acara-acara walimah.” (Fathul Bari (11/443))

Ahu Thayyib Ath-Thabari rahimahullah berkata: “Hadis ini merupakan hujjah hagi kami. Kerana Abu Bakar r.a. menyebutnya sebagai senandung/seruling syaitan. Dan Nabi s.a.w. tidak mengingkari ucapan Abu Bakar r.a.. Malahan beliau hanya melarangnya agar tidak terlalu keras dalam memberikan pengingkaran, kerana tabiatnya yang lembut, apatah lagi bahawa hari itu adalah merupakan hari ‘Ied. Dan juga ‘Aisyah pada saat itu masih kecil. Dan sesudah baligh, tidak ada dinukil dariinya kecuali kecaman terhadap nyanyian. Anak saudaranya, iaitu al-Qasim bin Muhammad mengecam nyanyian dan melarang mendengarkannya. Dan beliau mengambil ilmu dari ‘Aisyah r.ha. (Dinukil dari Kitab Ibnul Jauzi, Talbisul Iblis (1/23—24))

Ibnul Jauzi berkata dalam Kitab Talbisul Iblis (Talbjs Iblis halaman 217):

“Secara zahirnya, dapat dilihat bahawa kedua gadis tersebut masih kecil dan ‘Aisyah juga masih kecil. Rasulullah membolehkan gadis-gadis kecil menemaninya dan bermain bersamanya, kemudian ia menyebutkan sanadnya dari Ahmad bin Hambal bahawa ia ditanya tentang jenis nyanyian ini, ia berkata: “Senandung/nyanyian sambutan: Kami datang... kami datang!”

Kemudian Ibnul Jauzi rahimahullah berkata (Talbis Iblis halaman 229): “Adapun hadis ‘Aisyah r.ha telah disebutkan penjelasan tentangnya, iaitu yang disenandungkan/dinyanyikan oleh kedua gadis kecil itu adalah syair lalu disebut sebagai nyanyian, kerana terdapat unsur nasyid dan irama di dalamnya. Hanya saja senandung seperti itui tidak mengeluarkan tabiat dari keseimbangannya. Lalu bagaimana disamakan antara syair pada masa yang aman oleb hati yang suci dengan susana muzik yang begitu keras pada masa sekarang dan dimainkan oleh jiwa yang dipenuhi hawa nafsu. Jelas ini merupakan kesalah-pahaman. Bukankah telah sahih dalam sebuah hadis dari Aisyah bahawa ia berkata: “Kalaulah Rasulullah tahu apa yang dilakukan oleb kaum wanita tentu beliau akan melarang mereka pergi ke masjid.” Hendaklah seorang mufti memperhatikan keadaan yang ada seperti seorang tabib yang memperhatikan keadaan zaman, usia dan negeri kemudian barulah menyebutkan kadar ubatnya. Tentu tidak sama antara nyanyian yang disenandungkan/dilagukan oleh kaum Anshar pada hari Bu’ats dengan nyanyian para amrad (budak lelaki kecil yang belum tumbuh janggut) yang molek dengan alat-alat muzik yang menggerakkan jiwa serta puisi-puisi cinta dan percintaan, penyebutan sifat pipi, paras wajah dan lekuk tubuh. Apakah hal seperti itu dapat meluruskan tabiat? Sungguh sangat jauh perbezaannya. Bahkan jiwa semakin terangsang untuk meraih kenikmatan. Tidak ada orang yang mendakwa selain itu kecuali orang yang dusta atau telah keluar dari fitrah insaniyah.”

Kemudian ia melanjutkan: “Abu Thayyib Ath-Thabari telah memberikan jawaban yang lain bagi hadis ini - Abul Qasim al-Jariri telah menceritakan kepada kami periwayatan darinya, bahawa ia berkata: “Hadis ini merupakan hujjah bagi kami...” (telah disebutkan penukilannya di atas).

Imam an-Nawawi berkata dalam Kitab Syarah Sahih Muslim (Syarah an-Nawawi atas Sahih Muslim (6/182)): “al-Qadhi berkata: “Nyanyian yang disenandungkan/dilagukan oleh kedua gadis kecil itu adalah syair-syair peperangan, membanggakan keberanian, kejayaan dan kemenangan. Syair semacam ini tentu tidak menyeret gadis-gadis kecil itu kepada kerosakan, dan tidak termasuk nyanyian yang diperselisihkan hukumnya. Namun hanya sekadar melagukan syair dengan suara keras. Oleh kerana itu ‘Aisyah menyatakan bahawa keduanya bukanlah biduanita. Iaitu keduanya tidak bernyanyi seperti kebiasaan para biduanita, iaitu menyemarakkan rasa rindu, hawa nafsu dan menyebut-nyebut perkara keji dan sifat gadis-gadis molek yang dapat menggerakan jiwa dan membangkitkan hawa nafsu dan cinta. Sebagaimana dikatakan nyanyian adalah saluran zina. Dan keduanya bukan pula termasuk orang yang masyhur atau dikenali pandai menyanyi, iaitu pandai meliukkan suara dan membangkitkan ghairah orang yang diam dan menyemarakkan sesuatu yang tersembunyi di dalam hati. Dan bukan pula orang yang menjadikannya sebagai pekerjaan, sebagaimana halnya orang-orang Arab menyebut nasyid (syair) sebagai nyanyian.”

al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Kitab Fathul Bari (2/442-443): “Sejumlah kaum sufi berdalil dengan hadis (yakni hadis tentang kisah nyanyian dua gadis kecil) atas bab bolehnya nyanyian dan mendengar nyanyian dengan alat muzik atau tanpa alat muzik. Dan cukuplah sebagai bantahannya penjelasan ‘Aisyah pada hadis yang disebutkan dalam bab di atas sesudah perkataannya: “Keduanya bukanlah biduanita” ‘Aisyah r.ha menafikan dari keduanya sifat budianita secara makna, walau tetap menggunakan lafal tersebut. Kerana istilah nyanyian digunakan juga untuk orang yang mengangkat suara, digunakan juga untuk senandung/nyanyian yang disebut orang Arab dengan an-Nashbu, dengan memfathahkan huruf nun dan mensukunkan huruf sesudahnya, dan digunakan juga untuk makna mars (nyanyian/syair yang seakan-akan berirama), akan tetapi pelakunya tidak disebut penyanyi atau biduan/artis. Namun hanya disebut penyanyi atau biduan bila disenandungkan/dilagukan dengan liukan suara, desahan dan kerinduan yang berisi sindiran kepada perbuatan keji atau penyebutannya secara terang-terangan. al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Perkataan ‘Aisyah r.ha: “Keduanya bukanlah biduanita” iaitu bukan termasuk orang yang dikenal bukan sebagai penyanyi seperti halnya para biduan dan biduanita yang dikenal dengan hal itu. Perkataan ‘Aisyah itu untuk menepis anggapan nyanyian tersebut seperti nyanyian yang biasa dilantunkan oleh orang-orang yang dikenali dengan pekerjaan tersebut, iaitu nyanyian yang boleh membangkitkan syahwat dan nafsu terpendam.”

Kemudian beliau rahimahullah berkata: “Adapun perbuatan Rasulullah s.a.w. yang berselimut dengan kain, lantaran menunjukkan bahawa beliau berpaling darinya kerana keadaannya yang tersebut menuntut beliau untuk tidak mendengarkannya. Hanya saja tidak adanya pengingkaran dari beliau s.a.w. menunjukkan pembolehan hal seperti itu menurut ketentuan yang telah beliau setujui, sebab beliau tidak akan menyetujui perbuatan batil. Hukum asalnya adalah menjauhi permainan dan perbuatan sia-sia kecuali yang telah disebutkan dalam nash akan waktu dan kaifiyatnya, agar menekan seminimum mungkin terjadinya penyelisihan terhadap hukum asal, wallahu a’lam.”

Maka, mudah-mudahan terjawablah syubhat berkenaan fahaman yang dilontarkan oleh sebahagian rasionalis berkenaan hukum muzik dengan menyalah tafsirkan kefahaman berkenaan hadis sohih tentang 'Dua Anak Kecil' tersebut. Mudah-mudahan, ia dapat membantu memperbaiki kefahaman kita mengenai hukum sebenar muzik yang masih samar dari kalangan umat Islam pada hari ini..Wallahu A'lam

rujukan :

http://fiqh-sunnah.blogspot.com/2008/01/078-muzik-bantahan-ke-3-pendalilan.html

http://www.almanhaj.or.id/content/1664/slash/0